disebabkan Oleh pincangnya penguasaan Buya Hamka atas bahasa asing. Yang benar-benar dikuasainya, baik sebagai bahasa percakapan maupun bahasa literer, hanyalah bahasa Arab, di samping bahasa ibu dan bahasa nasionalnya. Masalah- masalah budaya yang dihayatinya, dengan demikian, sangat kekurangan informasi tentang masalah-masalah besar dalam percaturan antarbudaya pada tingkat dunia.
Perhatian “interna- sional”-nya masih terbatas pada perkembangan budaya di Timur Tengah, atau pada masa lampau kebudayaan “oikumene Islam”, kalau mau digunakan istilah sejarawan Arnold J. Toynbee. Memang, Buya Hamka dengan gigih membela kebebasan menyatakan pendapat dan memperjuangkan penghapusan segenap jenis sensor dan kekangan menyatakan pikiran, tetapi itu tidak berarti ia mengajukan kerangka konseptual yang berwatak operasional untuk memenangkan perjuangan itu sendiri.
hak saja, tanpa melakukan perubahan apa pun dalam struktur kehidupan masyarakat? Di balik begitu banyak produk tulisannya, yang memasukkan Buya Hamka ke dalam kategori budayawan kalau digunakan pengertian budaya sebagai semua hasil karya manusia yang bersifat pemikiran dan budi, hampir tidak dapat ditemui pembahasan tentang konsepsi kebudayaan yang benar-benar utuh dan bulat (bukan hanya sekadar deretan pertanyaan yang terlepas satu dari yang lain) di dalamnya, apalagi yang bersifat operasional.
Buya Hamka adalah peminat budaya hanya dalam artiannya yang paling dasar, bukannya budayawan dalam arti yang lebih khusus. Mereka yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang kebebasan berpikir dan kemerdekaan berpendapat secara penuh. Karena itu, misalnya, tidak kita temui polemik berkepanjangan antara Buya Hamka dan para budayawan lain tentang corak kebudayaan yang diingininya.
Dalam sejumlah tulisannya yang sedikit banyak menyinggung tentang masalah kebudayaan, jelas sekali adanya kelangkaan pemikiran strategis 25