perempuan. Konsep kesetaraan itu mengisyarakatkan dua hal: Pertama, dalam pengertiannya yang urnum, ini berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara.
Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan IX)1itik; keduanya harus memiliki hak yang setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau memutuskannya; keduanya harus memiliki hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain; harus bebms memilih profesi atau cara hidup; keduanya harus setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.
Seperti sudah diungkap di atas, sekalipun secara normatif A1-Qur’ an memihak kepada kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan, tetapi secara kontekstual A1-Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan tettentu kaum laki-laki atas perempuan. Tetapi dengan mengabaikan konteksnya, para fuqaha’, kata Asghar menyayangkan, berusaha memberikan status yang lebih unggul bagi laki-laki dalam pengertian nonnatif. Misalnya tentang status suami sebagai qawأ¥wmأ¼n dalam Surat An-Nisأ¥’ ayat 34.
Asghar mengritik dengan tajam metode para mufasir yang memahami ayat ini semata-mata bersifat teologis dengan mengabaikan pendekatan sosiologis. Seharusnya para mufasir menggunakan pandangan sosio-teologis. Tentang hal ini peneliti kutip Ashghar secara lengkap• “Meskipun demikian, A1-Qur’an memang berbicara tentang laki-laki yang memiliki kelebihan dan keunggulan sosial atas perempuan. Ini, sebagaimma ditunjukkan di atas, harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat.
Strukmr Asghar Ali Engineer, nak•hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), him. 57.